Keberanian

Oleh: Udo Yamin Majdi

“Kata-kata tidak pernah akan menyentuh hati dan menggerakan jiwa manusia, kecuali kata-kata yang ditulis dengan tinta darah. Kata-kata seperti inilah yang akan selalu hidup dalam sanubari manusia.”

* * *

“Tidak! Saya tidak pernah akan minta ma’af,” jawab dia dengan tegas, “dari perbuatan saya di jalan Allah. Sungguh, jari telunjuk yang saya pakai bersyahadat setiap sholat, tidak pernah akan saya pergunakan untuk menulis perjanjian berdasarkan hukum taghut, meskipun satu huruf!”

Itulah ungkapan dari seorang penulis pemberani. Keberanian dalam menulis sangat vital. Tanpa keberanian, seseorang tidak pernah akan menjadi penulis sejati. Betapa banyak orang yang berangan-angan ingin menjadi penulis, namun jangankan berani mempublikasikan karya dan siap dengan segala resikonya, untuk memulai menulis saja mereka tidak berani.

Dan keberanian itu menemukan maknanya ketika kita menyuarakan kebenaran. Betapa banyaknya penulis yang berani, bukan hanya berani berpolemik; berani dicaci; berani dipenjara, bahkan berani dihukum jantung. Salah satu penulis pemberani itu adalah orang yang akan saya ceritakan berikut ini. Agar tidak terlalu panjang saya menuturkan sosok penulis pemberani ini, saya hanya akan mengisahkan menjelang dia menulis keberanian dengan tinta darah.  

* * *

21 Agustus 1966

Dia keluar dari ruang sidang sambil tersenyum. Setiap bertemu dengan orang, dia mengulurkan tangan. Menyalami mereka dengan hangat. Dia berbincang-bincang, seolah-olah bukan seorang terdakwa.

Sementara itu, di ruang lain, seorang perempuan bersama suaminya menemui kepala penjara militer.

“Ada apa pak, memanggil saya?” tanya sang perempuan setelah duduk di kursi.

“Begini saudariku”, katanya dengan suara bariton, “sebagaimana kita ketahui bersama, baru saja kita dengar keputusan hakim bahwa kakakmu akan dihukum mati. Tentu saja, yang sedih bukan saja kamu, tapi juga aku, bahkan seluruh masyarakat Mesir pun ikut merasa kehilangan!”

“Trus?”

“Pihak pemerintah siap merubah keputusan itu, meringankan hukuman, atau bahkan membebaskannya, dan memberikan jabatan penting kepadanya, asal...”

“Asal apa pak?”

“Asal kakakmu meminta ma’af dan memenuhi keinginan pemerintah!”

“Mereka minta apa?”

“Mereka hanya ingin, pernyataan dari kakakmu, bahwa gerakan Ikhwan selama ini sebagai gerakan kudeta!”

“Lho, apa tidak salah pak, bapak tahu, begitu juga Gamal Abdul Nashir, bahwa gerakan Ikhwan Muslimin bukan untuk menggulingkan siapapun!”

“Betul, saya tahu itu. Semuanya juga tahu. Ikhwan Muslimin hanya gerakan dakwah. Mereka sebaik-baiknya manusia di negeri ini. Akan tetapi demi membebaskan kakakmu, maka tidak ada salahnya, jika kita memenuhi permintaan mereka!”

“Baik pak, akan saya coba!” kata perempuan itu dengan suara tertahan. Mereka pamit, lalu menuju ruang tunggu mahkamah.

“Kak..., Aminah mau bicara sebentar!” ajak sang suami.

“Ada apa Kak Shofwat” tanya laki-laki yang tadi keluar dari ruang sidang.

Mereka bertiga menjauhi kerumunan orang. Mereka berbicara dengan berdiri di sudut dekat jendela. Aminah menceritakan pertemuan di kantor kepala penjara militer. Wajah lelaki kurus yang selalu tersenyum tadi, tiba-tiba memerah. Dia menahan amarah. Beberapa menit kemudian, dia berkata, “Demi Allah, seandainya apa yang mereka minta itu sebuah kebenaran, maka tidak ada yang bisa menghalangi saya untuk berbicara. Namun mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka saya tidak mampu. Sampai kapanpun saya tidak pernah akan berbohong!”

“Kak, apakah pendapatmu ini sudah final?” Shafwat ikut bicara.
“Iya!”

Shofwat meninggalkan kakak beradik itu, agar mereka berbicara lebih bebas.

“Aminah, apakah kamu setuju dengan permintaan pemerintah?”

“Tidak, saya tidak setuju!”

“Alhamdulilah kalau begitu. Satu hal yang harus saya tegaskan, mereka itu tidak mampu memberikan mudharat dan manfa’at terhadap diri mereka sendiri. Semuanya ada dalam genggaman Allah Swt.. Kalau terhadap diri mereka sendiri tidak mampu, apalagi kepada orang lain. Semua ajal ada di tangan Allah Swt.. Ditambah, apakah dengan memenuhi permintaan mereka, ajalku bisa lebih panjang dan mereka menepati janjinya?”

Percakapan mereka terhentikan, ketika seorang berseragam hitam datang dan berkata, “Ma’af pak, sekarang kita harus kembali ke penjara!”

Di depan gedung, terparkir mobil penjara berwarna hitam. Orang-orang berdesakan untuk menyaksikannya saat dia masuk mobil. Dari balik jeruji jendela mobil, dia melambaikan tangan. Di bibirnya masih tersungging senyum.

Mobil melaju. Para pengunjung menyambut lambaian tangan itu dengan hati pilu. Di hati mereka, gerakan tangan itu, seperti tangan malaikat Izroil sedang mencabut nyawa manusia.

Di tengah deru mesin mobil, seorang pengawal tahanan itu bertanya kepada temannya, “Apa keputusan hakim terhadap mereka ini?”
“Mereka dihukum mati!” jawab polisi yang duduk di dekat pintu belakang mobil.

Diantara tujuh tahanan lain, dia yang duduk dekat pintu, mendengar percakapan itu. Dari balik terali besi dia berkata, “Jangan katakan mereka dihukum mati, tapi katakan mereka mendapat anugerah syahid di jalan Allah!”
Mobil meluncur di jalan Sholah Salim. Tiba-tiba dia bertanya, “Di manakah Shalah Salim sekarang? Dan di mana Faruq? Sungguh, mereka adalah orang yang tidak terhormat dan tidak perlu diteladani!”

Dia diam sebentar. Lalu berkata lagi, “Alhamdulillah..., alhamdulillah..., syahid di jalan Allah..., Sungguh Allah akan memberikan ganjaran kepada kami. Sebuah ganjaran yang lebih besar dari yang telah kami terima selama ini..., syahid di jalan Allah..., besok kami akan berjumpa dengan kekasih kami, Muhammad Saw. bersama sahabatnya. Beliau pernah bersabda: “Ruh orang-orang yang syahid di jalan Allah berada di dalam burung biru,  bagi mereka pelita yang tergantung di ‘Arsy, mereka terbang bebas dalam surga dan mengitari pelita itu!”

Mendengar ucapannya itu, seorang polisi bertanya, “Anda merasa yakin bahwa Anda akan syahid, apa makna syahid menurut Anda?”
“Syahid adalah”, dia menjawab, “orang yang memberikan kesaksian melalui ruh dan darahnya bahwa agama Allah lebih berharga dari apapun, bahkan hidupnya, oleh sebab itu setiap desah napasnya selalu membela agama-Nya!”

Mobil berlari. Dia kembali tersenyum. Entah apa yang dia ingat. Mungkin dia ingat mimpinya. Jauh hari sebelum hakim Fuad Dajwy memberi keputusan hukuman mati, dia bermimpi.

“Apakah kamu bisa menta’wil mimpi?” Dia bertanya kepada temannya, Mahmud Ar-Rukaby, yang bermalam di rumahnya. “Sungguh, aku bermimpi melihat kapal perang seakan-akan ular merah yang mengelilingi diriku, lalu ia mendekatiku. Tiba-tiba aku terbangun, dan tidak bisa tidur lagi!”

“Ooo, itu artinya, diantara orang-orang beriman akan memberimu sebuah kado yang diikat dengan pita merah. Kalau kamu mau, sekarang saya akan memberikan kado itu, biar kamu tidur kembali dengan tenang!” jawab temannya sambil bercanda.

“Lho apa tidak kebalik, gimana kalau aku yang memberi, sedangkan kaum mu’minin yang menerima. Aku ingin menghadiahkan diriku untuk mereka!”

“Wah jangan dulu, sebab orang-orang sholeh sepertimu sangat bermanfa’at dan dibutuhkan untuk dakwah Islam!”

“Ya, aku kan tidak selamanya hidup? Lagian, bila mereka wafat, insya Allah, mereka tetap memberikan manfa’at lho. Aku berkata seperti ini, bukan berarti aku sengaja ingin mencelakakan diri sendiri, melainkan aku sengaja meneguhkan diri!”

“Udahlah jangan bicara gitu lagi, orang-orang akan berlaku adil terhadapmu!”

“Oke, tapi suatu saat nanti kamu akan tahu, apakah mereka adil atau tidak terhadapku!”

Mobil menderu. Dia tersenyum lagi. Mungkin dia teringat, apa yang telah dia tulis dalam tafsirnya. Dalam kitab itu, ketika menafsirkan firman Allah: “Wa yattakhidzu minkum asy-syuhadâ’”. (QS. Ali Imran [3]: 140), dia menulis bahwa kalimat ini sungguh mempesona dan memiliki makna sangat mendalam. Sungguh, para mati syahid itu adalah pilihan Allah Swt..., Allah memilih mereka diantara orang-orang yang berjihad, dan Allahlah yang menentukan pilihan itu.

Syahid itu bukan bencana. Bukan pula sebuah kerugian atau kehilangan. Seseorang akan mati syahid bila ia memang sangat menginginkannya. Syahid adalah pemilihan, penyeleksian, pemuliaan, dan pengkhususan. Mereka adalah orang-orang yang dikhususkan oleh Allah dan mendapatkan rizki-Nya berupa syahid, agar Allah membersihkan mereka sebagaimana mereka telah mensucikan-Nya.

Mereka syahid atas pilihan Allah. Mereka syahid saat menyampaikan kebenaran kepada manusia. Mereka laksanakan semua itu tanpa pernah ada keraguan, tanpa rasa gentar, dan tanpa berdalih apapun. Mereka raih syahid itu penuh dengan kesungguhan sehingga ajal menjemput mereka di jalan Allah swt, sehingga al-haq terlaksana di dunia ini oleh manusia.

Dan hari ini, mimpi dan apa yang dia tulis, menjadi kenyataan. Siapakah dia yang menyambut kematian dengan senyuman? Siapakah dia yang begitu bahagia berpisah dengan dunia fana ini? Siapakah dia yang menghadiahkan dirinya untuk kaum muslimin? Siapakah orang yang ada di dalam mobil yang sedang melaju itu?

Dia adalah Sayyid Quthub!

* * *