Rabu, 16 Juni 2010

Makna Al-Mawaddah, Al-Mahabbah, dan Ar-Rahmah


Oleh: Udo Yamin Majdi

Sebelum kita membicarakan komposisi cinta, terlebih dulu marilah kita memasuki pembahasan makna cinta dalam Al-Quran. Dalam Al-Quran, kata cinta diungkapkan dengan kata Rata Penuh"al-mahabbah" dan "al-mawaddah". Kedua kata ini, bermakna cinta. Namun, ahli tafsir Al-Biqa'iy, dalam buku Nazem Addurar, membedakan keduanya. Menurutnya, al-mawaddah atau al-wudda adalah cinta plus. Sebab al-mawaddah adalah cinta yang tampak buahnya dalam sikap dan perlakuan, serupa dengan kepatuhan sebagai hasil rasa kagum kepada seseorang.

Quraisy Shihab, dalam buku Menyingkap Tabir Ilahi: Asmâ al-Husnâ dalam perspektif Al-Quran (Lentera Hati, 2001), menyebutkan makna mawaddah (wadud) hampir sama dengan makna rahmat (rahim). Hanya saja, rahmat tertuju kepada yang dirahmati (objek) sedangkan yang dirahmati dalam keadaan butuh. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa rahmat tertuju kepada yang lemah, sedang mawaddah tidak demikian. Karena tidaklah tepat dikatakan, "Saya merahmati Allah", karena Dia tidak pernah akan butuh, tetapi tidak salahnya dikatakan "Saya mencintai-Nya". Sebab, mawaddah atau wadûd dapat dipahami sebagai objek sekaligus subjek.
"Di sisi lain cinta yang dilukiskan," tulis Ustadz Quraisy Shihab, "cinta yang dilukiskan dengan kata wud atau pelakunya Yang Wadud harus terbukti dalam sikap dan tingkah laku, sedang "rahmat", tidak harus demikian. Selama rasa perih masih ada di dalam hati terhadap objek, akibat penderitaan yang dialaminya, walau yang kasih tidak berhasil menanggulangi atau mengurangi penderitaan objek -rasa perih- itu saja sudah cukup untuk menjadikan pelakunya menyandang sifat rahîm (Pengasih), walaupun itu dalam batas minimun.

Dalam Al-Quran, cinta yang diungkapkan dengan kata yang berasal dari huruf "wauw" dan "dal" (al-mawaddah), terulang sebanyak 27 kali. Sedangkan yang berasal dari huruf "ha'" dan "ba" (al-mahabbah), terulang sebanyak 90 kali. Dan kata yang terbentuk dari huruf "ra", "ha", dan "mim" (ar-rahmah), disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 183 kali.

Dari kajian terhadap kata "wudda", "hubb", dan "rahmat" yang tersebut di atas, ternyata mengungkapkan sejumlah titik persamaan dan perbedaan. Kita akan meringkaskan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang paling menonjol. Singkatnya, ketiga kata itu sama-sama untuk menunjukan keinginan untuk memberikan yang terbaik. Sedangkan perbedaannya adalah "wudda" digunakan untuk memberikan dan menerima kebaikan dari yang berakal (manusia), "hubb" selain untuk yang berakal juga untuk yang tidak berakal, sedangkan kata "rahmat" bermakna hanya memberikan kebaikan, meskipun tanpa menerima kebaikan itu kembali. Wallahu a'lam.

Bersambung ke: Komposisi Cinta

Cinta itu Universal dan Bukan Seks!

Oleh: Udo Yamin Majdi

Sebelum aku mendefinisikan cinta itu menurut pemahamanku, ada dua hal yang ingin aku sampaikan, pertama, ada penyempitan makna cinta; kedua, tentang komposisi cinta. Baik, kita mulai dari hal pertama. Dari apa yang aku dengar dan aku baca, ada kesan cinta itu hanya untuk lawan jenis, bahkan identik dengan seks. Apalagi, kalau membaca buku-buku, atau literatur dari Barat, itu bukan hanya kesan, memang mereka identikkan dengan seks. Ini terlihat, ketika ada seorang penulis, menyebutkan salah satu komposisi cinta adalah gairah seksual.

Dan penyempitan makna cinta itu, terjadi juga dengan masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh, apa yang tertulis dalam buku yang sempat bikin heboh dan best seller beberapa tahun yang lalu (Ma'af, aku tidak sebutkan judulnya ya). Pas baca buku itu, aku bergidik. Iiii takut!! Gimana enggak ngeri, di sana digambarkan tentang bisnis 'daging ayam'? Ayam yang aku maksud bukanlah ayam beneran, tapi sebutan para cewek murahan yang jual diri sama cowok, atau bisa sebaliknya.

Gila, dalam buku itu, diungkap semua aktifitas seksualitas yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Betapa tidak, selain aktifitas itu zina -sebab para pelakunya tidak diikat oleh pernikahan, juga seks itu dilakukan di luar prikemanusiaan. Masih adakah nurani, ketika ratusan laki-laki dan perempuan dalam sebuah ruangan berjoget tanpa sehelai benang? Lalu, mereka 'bebas-sebebasnya' melakukan perzinahan itu. Mau satu laki-laki melayani dua, tiga, empat perempuan. Atau sebaliknya, satu cewek di 'garap' beberapa cowok. Atau mereka bermesum sesama jenisnya; lelaki dengan lelaki (homo) dan perempuan sama perempuan lagi (lesbian). Tempatnya juga bebas, mau di lantai, di sofa, di kasur, di mobil, atau dimana saja, yang penting enjoy. Semuanya, boleh dilakukan. Lantas, kalau demikian, apa bedanya dengan binatang? Gubrak!!

Ah, intinya, dalam buku itu terjadi penyempitan dan penyimpangan makna cinta. Bagi mereka kata "bercinta", berarti itu penghalusan kata dari "hubungan biologis" antara lawan jenis. Wajar saja kalau ada diantara teman kita yang ingin membuktikan cinta pada pasangan -pacar- adalah lewat penyerahan tubuh, walaupun tanpa proses yang halal, alias tanpa nikah. Orang memahami dari cintalah akan lahir seks. Dan seks dilakukan juga akan menimbulkan cinta. Padahal itu bukan cinta, itu adalah hawa nafsu.

Cinta itu universal. Bukan hanya untuk lawan jenis saja. Cinta bisa berlaku dari Allah Swt. untuk makhluk-Nya. Dari makhluk kepada Allah Swt. Dari ibu untuk anaknya, atau sebaliknya. Dari manusia untuk harta-benda. Dari manusia kepada hewan dan pepohonan. Dan seterusnya. Contoh, ketika ada pulpen bagus dan jadi kesukaan kita, kita pun bilang: "Gue cinta banget ama pulpen ini!" Jadi, objek cinta itu "siapa" dan "apa" saja, alias universal, termasuk terhadap pulpen. Tidak hanya dengan lawan jenis saja.

Bersambung: Makna Al-Mawaddah, Al-Mahabbah, dan Ar-Rahmah

Mudah Dirasakan, Sulit Dikatakan

Oleh: Udo Yamin Majdi

Apa itu cinta? Seperti yang diungkapkan temanku itu, ia sendiri bingung, mengapa dirinya begitu berhasrat mengikuti sang rocker. Ia tidak mengatakan, itulah cinta. Padahal, menurutku, itu adalah cinta. Ya, cinta memang mudah kita rasakan, tapi sulit kita gambarkan dalam bentuk kata-kata. Ini terkesan klise ya? Tapi kenyataannya memang demikian.

Bagiku, cinta itu lebih mudah kita fahami "bagaimananya" daripada "mengapanya"? Tanya sama orang yang sedang jatuh cinta: "Mengapa kamu mencintai orang yang kamu cintai itu?" Besar kemungkinan, ia akan garuk-garuk kepala; bingung. Tapi, kalau kamu tanya: "Bagaimana kamu tahu bahwa kamu mencintai seseorang?" Maka mulutnya akan begitu mudah memberikan penjelasan bahwa ia tahu dari apa yang ia rasakan.

Jangan heran, bila ada seorang pemuda tampan, cerdas, aktivis, memimpin sebuah perusahaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Nyaris tak ada cacat. Tapi, tiba-tiba ia memutuskan untuk mencintai dan menikah pembantunya: gadis desa lugu, wajah papasan, tamat SD, dan seterusnya. Atau, ada seorang dosen perempuan bergelar doktor, tokoh, dan sangat terkenal, dan ternyata mencintai sopir pribadinya.

Itulah cinta. Mudah kita rasakan, tapi sulit kita katakan. Mudah untuk mencari jawaban dari "bagaimana", daripada "mengapa". Mudah kita rasakan, daripada kita pikirkan. Ya, cinta itu memang urusan hati, bukan urusan otak. Karena cinta urusan hati, maka cinta tidak dapat kita deteksi kecuali melalui gejala-gejala psikologis, tingkah laku, sifat-sifat atau pengaruh yang terjadi saat kita mengalaminya. Dan pengalaman setiap orang berbeda. Akhirnya, dalam mendefinisikannya, juga berbeda-beda. Setiap orang memiliki definisi tersendiri tentang cinta, sesuai dengan apa yang ia rasakan. Sampai kapanpun, tidak pernah akan ada kata sepakat dalam mendefinisikan cinta.

Lantas, apakah kita tidak perlu mencari definisi cinta? Maksudnya bukan demikian! "Tidak ada kata sepakat dalam definisi", bukan berarti kita tidak perlu mendefinisikan. Justru, seharusnya, setiap orang mendefinisikan cinta itu, sesuai dengan pengalaman hidupnya. Karena, dengan memahami arti cinta, seseorang akan merasakan makna cinta. Yuk, kita definisikan cinta itu!

Bersambung: Cinta itu Universal dan Bukan Seks!

Problem Solver

Oleh: Udo Yamin Majdi

Penulis sejati hadir menjawab masalah umat, bukan menjadi masalah umat. Sebab tangan mereka tergerak mengambil pena, ketika hati mereka menjerit melihat persoalan. Tulisan mereka mengalir jernih untuk diminum oleh siapapun yang dahaga akan ilmu. Karya mereka menjadi trend setter batu bata pertama perubahan, bukan sebagai karya epigon atau me too murahan. Dengan kata lain, mereka adalah pemecah masalah.

Dari sekian banyak penulis sejati tipe ini, kita akan bercermin kepada Imam Syafi'i. Suatu ketika seorang muridnya, Abdurrahman bin Mahdi, mengirim sepucuk risalah. Dalam surat itu, sang murid menceritakan perdebatan, perselisihan, dan perseteruan madrasah ahli hadist dengan madrasah ahli ar-ra'yu. Kedua kelompok ini sepakat untuk menggunakan hadits sebagai hujjah. Namun mereka berbeda ketika ada masalah dan dalam waktu yang sama tidak menemukan hadits, pertama apakah boleh menggunakan akal atau tidak untuk mencari solusinya, dan kedua, dalam persoalan furu', apakah boleh menggunakan akal atau tidak? Kelompok pertama berpusat di Madinah al-Munawarah, sedangkan kelompok kedua berada berada di Iraq.

Lalu, Imam Syafi'i menjawab surat itu dengan tulisan, bukan dengan perkataan. Sebab, beliau tidak mau ikut debat kusir. Beliau tuangkan ide-ide briliyannya tentang tema dan kaidah dasar masalah fiqh, beliau jelaskan kedudukan Al-Quran dan As-Sunnah dan posisi keduanya sebagai sumber hukum, beliau jelaskan kaidah bahasa Arab, beliau terangkan kaidah qiyas, dan seterusnya. Pembahasan dalam buku berjudul "Ar-Risalah" ini, kemudian kita kenal dengan Ilmu Ushul Fiqh. Kitab Risalah ini seolah-olah pengantar dari kitab "Al-Umm".

Karya yang ditulis Imam Syafi'i pada penghujung abad ke-2 itu menjadi rujukan kelompok ahli hadist, kelompok ahli ra'yu, dan para ulama Islam lainnya. Bahkan selama 200 tahun, belum ada yang mengikuti jejak beliau: menulis buku Ushul Fiqh. Baru kemudian pada abad ke-4, Al-'Alamah Ibnu Abdul Jabbar menulis buku Al-'Umdah fi Ushulul Fiqh [415 H], Imam al-Haramain al-Juwainy menulis buku Al-Burhan fi Ushuli al-Fiqh, dan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis buku Al-Mustashfa min 'Ilmi Ushulil Fiqh.

Penulis kelahiran Gaza itu, sejak 15 abad yang lalu bersemanyam di pemakaman Cairo, tapi nama beliau tetap hidup dalam kitab Ar-Risalah. Nama beliau abadi pada sebuah madzhab fiqh, yaitu madzhab Asy-Syafi'iyah. Tidak terhitung penerbit yang mencetak ulang karya itu; tidak terhitung para penuntut ilmu membaca karya itu; dan tidak terhitung pula pahala yang mengalir kepada penulis sejati itu.

Bahkan, setiap sholat tanpa terputus selama 40 tahun, Imam Ahmad mendo'akan Imam Syafi'i. Sehingga anak Imam Ahmad bin Hambal bertanya, "Siapak Imam Syafi'i itu, sampai-sampai Bapak begitu sering mendo'akan beliau?" Sambil tersenyum Ahmad bin Hambal menjawab, "Wahai anakku, Imam Syafi'i ibarat mentari di jagat raya. Beliau satu-satunya dokter umat sedunia. Tak seorang pun membantah hal ini. Tak ada orang yang berjalan dengan tinta di tangannya, melainkan di punggungnya telah ia bawakan hadiah pahala untuk Imam Syafi'i."

Nah, bila Imam Syafi'i telah menjadi problem solver, maka sudahkah kita mendedikasikan diri kita untuk menjawab tantangan zaman ini? Jika karya beliau masih terus dikaji oleh banyak orang hingga kita, maka akankah tulisan kita menjadi rujukan para pecinta ilmu? Manakala beliau begitu dicintai dan dido'akan oleh orang sholeh, maka adakah pembaca karya kita yang tergerak mendo'akan kita? Wallahu a'lam bish shawab.